Rabu, 11 September 2013

Kenapa Dokter Menggugat Praktik Keperawatan Mandiri?

Praktik Keperawatan Mandiri (PKM) sudah bergaung lama dalam tatanan pemikiran internal Keperawatan Ditengarai kelangkaan tenaga kesehatan yang bersedia untuk memberikan layanan kesehatan diberbagai pelosok daerah – terutama daerah terpencil – menjadi semacam opportunity bagi diskusi internal berkaitan dengan PKM ini. Hukum ekonomi menyatakan dimana ada demandmaka disitu akan diusahakan untuk sebisa mungkin agar tersedia supply.
Sebagai makhluk ekonomi, ada sebahagian Perawat yang juga mencoba peruntungan ini. Biasanya mereka adalah Perawat yang bekerja di Rumah Sakit Daerah (RSUD), Perawat yang bekerja di Pusat Puskesmas maupun sebahagian kecil perawat yang tidak bekerja di tempat lain dan mengkhususkan diri untuk membuka layanan PKM ini. Adapun Perawat yang tinggal di kota besar, bilangan individu yang menyelenggarakan PKM ini relatif sedikit.
Namun, seiring dengan bergulirnya Rancangan Undang-Undang Keperawatan (RUUK) di parlemen, issue mengenai PKM ini semakin seksi dan kian menyedot perhatian perhatian banyak kalangan. Bukan saja para Perawat, juga kalangan Dokter maupun Apoteker dan tenaga kesehatan yang lain. Bahkan ditengarai ketidakberpihakan sebahagian besar Dokter dengan legislasi RUUK ini disebabkan karena adanya celah yang terbuka bagi Perawat untuk menyelenggarakan PKM ini.
Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa terhambatnya RUUK untuk dibahas oleh Kementerian kesehatan (Kemenkes) bersama DPR serta 4 Kementerian lainnya pun – bila diurai benang merahnya – akan terdapat hubung kait yang erat dengan issue PKM ini. Kita semua sudah mafhum bahwasanya Kemenkes sejak awal berdirinya selalu dikuasai oleh kalangan Kedokteran, bahkan sehingga sekarang pun Menteri Kesehatan tetap dijabat oleh seorang dokter
Lalu atas indikasi apa para sejawat dokter ini ada yang menolak atau setidaknya keberatan dengan legislasi RUUK ini? Jawaban simple-nya tentu tidak lain dan tidak bukan atas motif ekonomi. Bagi beberapa dokter yang kurang faham terhadap kandungan RUUK tentu akan apriori dengan legislasi RUUK tersebut. Karena melalui legislasi RUUK tersebut, celah bagi Perawat untuk menyelenggarakan PKM akan semakin terbuka lebar. Apabila celah penyelenggaraan PKM semakin terbuka lebar, maka akan menjamur Klinik Swasta yang beroperasi disetiap pelosok daerah di indonesia. Akibat akhirnya tentu saja periuk nasi bagi sebahagian Dokter akan tergerus.
Alasan lain dari apriori-nya dokter terhadap PKM ini adalah karena masih terbuka luas grey area antara Dokter dan Perawat. Dokter sangat khawatir apabila tindakan medis akan dilakukan juga di klinik-klinik swasta PKM yang diprakarsai oleh Perawat. Padahal di Rumah Sakit atau puskesmas, Perawat dapat melakukan sebahagian kecil tindakan medis tersebut atas jasa baik Dokter yang memberikan standing order atau pendelegasian tugas kepada Perawat. Atau dengan kata lain, Dokter sibuk dengan urusan yang lebih penting, sehingga tindakan medis yang remeh-temeh silakan Perawat ambil.
Namun kadangkala dalam persepsi perawat yang setiap hari mendapat standing order atau pendelegasian tugas tersebut sehingga kemudian Perawat yang bersangkutan teramat mahir untuk melakukan tindakan medis yang dikuasakan, hal tersebut sudah mendarah daging dan akhirnya secara tidak sadar diakui sebagai bahagian tindakan Keperawatan. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan, tapi sering terjadi dalam tatanan praktik kesehatan di Indonesia
Sebagai ilustrasi, berdasarkan evidence hasil evaluasi peran dan fungsi Perawat di Puskesmas di daerah terpencil tahun 2005 yang dirilis oleh Kemenkes dan Universitas Indonesia (UI),  bahwa tindakan medis yang sering dilakukan Perawat, antara lain:
  1. Menetapkan diagnosis penyakit (92.6%),
  2. Membuat resep obat (93.1%),
  3. Melakukan tindakan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung Puskesmas (97.1%),
  4. Melakukan pemeriksaan kehamilan (70.1%), dan
  5. Melakukan pertolongan persalinan (57.7%).
Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa ketidaktersediaan Dokter di daerah terpencil menjadi cikal-bakal terjadinya pendelegasian tindakan medis dari Dokter kepada Perawat secara menahun, akibatnya sudah tidak dapat lagi dipisahkan grey area mana saja yang patut dikerjakan oleh Perawat dan grey area mana pula yang dilarang untuk dilakukan oleh Perawat. Inilah salah satu pemicu dari penolakan atau keberatan dari kalangan Dokter terkait legislasi RUU Keperawatan yang didalamnya membolehkan Perawat melakukan PKM.
Namun, meskipun RUU Keperawatan belum disahkan, sebetulnya Perawat sudah diizinkan oleh Kemenkes untuk melakukan PKM ini. Bila kita lihat beberapa pasal krusial yang ada dalam Kepmenkes No. 1239 Tahun 2001 tentang Praktik Keperawatan, disana telah dinyatakan secara lugas bahwa “Perawat yang menjalankan praktik perorangan harus mencantumkan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) di ruang praktiknya” dan “Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, Perawat berwenang melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa“.
Ada larangan pula yang ditujukan kepada Perawat dalam Kepmenkes No. 1239 Tahun 2001 tentang Praktik Keperawatan itu, diantaranya “Perawat dilarang menjalankan praktik selain yang tercantum dalam izin dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi“, kemudian ada juga larangan lain “Bagi Perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan yang lain, dikecualikan larangan ini“. Jadi untuk Perawat yang berdomisili di kecamatan, kabupaten atau kota dan provinsi tentu tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan medis yang diharamkan tersebut.
Satu lagi yang terkait dengan PKM yang boleh dijalankan oleh Perawat, yaitu Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medis No. HK. 00.06.5.1.311 tentang Home Care yang menyatakan bahwa PKM dapat melaksanakan setidaknya 23 tindakan Keperawatan mandiri. Apa saja tindakan Keperawatan mandiri tersebut? Ini penulis senaraikan dibawah ini:
  1. Mengambil tanda-tanda vital,
  2. Memasang nasogastric tube,
  3. memasang selang susu besar,
  4. memasang foley catether,
  5. penggantian tube pernafasan,
  6. merawat luka dekubitus,
  7. melakukan suction,
  8. memasang peralatan O2,
  9. Melakukan penyuntikan (IV, IM, IC, SC),
  10. pemasangan infus maupun obat,
  11. pengambilan preparat,
  12. pemberian huknah atau laksatif,
  13. kebersihan diri,
  14. latihan dalam rangka rehabilitasi medis,
  15. transportasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik,
  16. pendidikan kesehatan,
  17. konseling kasus terminal,
  18. konsultasi baik offline atau online,
  19. fasilitasi ke Dokter rujukan,
  20. menyiapkan menu makanan,
  21. membersihan tempat tidur pasien,
  22. memfasilitasi kegiatan sosial pasien,
  23. memfasilitasi perbaikan sarana klien.
Sudah jelas bukan bahwa PKM ini meskipun RUU Keperawatan belum disahkan sudah dapat dilakukan oleh Perawat sejak tahun 2001. Sudah ada Permenkes dan Surat Keputusan yang mengaturnya secara lugas. Jadi penolakan atau keberatan Dokter terhadap legislasi RUU Keperawatan seharusnya tidak terjadi.
Lagi pula spirit utama dari Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PP PPNI), Gerakan Nasional Perawat Indonesia bersama seluruh komponen Perawat dan Calon perawat indonesia yang berada di tanah air dan mancanegara yang tidak kenal lelah mendesak pengesahan RUU Keperawatan bukan untuk mengejar material semata agar diizinkan secara legal formal membuka PKM ini. Tapi ruh dari RUU Keperawatan itu sendiri adalah untuk menciptakan milieu yang profesional bagi Perawat agar setanding dengan Perawat asing dan mampu untuk memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat agar mencapai kehidupan yang sejahtera.
Demikian. Jadi dengan uraian panjang lebar diatas – tertinggal satu pertanyaan – masih perlukah ada sebahagian Dokter yang menolak atau keberatan dengan legislasi RUU Keperawatan yang membuka celah bagi penyelenggaraan PKM ini? Wallahu’alambishawab.
Sumber: Blog Perawat

0 komentar: