Minggu, 07 Juli 2013

Perawat Bukan Pembantu Dokter!


Perawat, siapa yang tidak kenal dengan profesi luar biasa ini. Bahkan tidak jarang pasien lebih ingat akan perawat daripada dokternya karena pasien lebih berinteraksi dengan para perawat yang memang mempunyai waktu lebih banyak dibanding dokter.   Ketekunan juga kesabaran perawat dalam merawat pasien hingga sembuh merupakan hal luar biasa. Sama juga akan perkenalan saya dengan Naela Mustika Khikmah, Ns perawat muda yang mengabdikan diri di lereng Bromo. Program Pencerah Nusantara menjadi wadah bagi kami para tenaga kesehatan untuk menyamakan visi misi dan mengutamakan pasien.
13683865731366080995
Perawat Naela bersama rekan-rekan menjalani profesi satu tahun di RS
13683867281586553211
Perawat Naela (berjilbab) membantu pasien stroke melalui latihan terapi dalam kunjungan rumah setiap bulan
Pasalnya paradigma miring bahwa perawat adalah orang nomer dua yang seolah-olah hanya menjadi pembantu dokter sudah terlalu lama bergulir.  Tidak jarang karena pola pikir seperti inilah maka harmonisme antara dokter dan perawat sering berada di ujung tanduk.  Dokter terkadang merasa perawat bekerja di luar wewenangnya dan perawat pun merasa dokter hanya dapat memerintah saja tanpa berbagi kesejahteraan dengan adil. Padahal, sungguh kami para dokter tidak akan mampu mengobati dan melayani pasien tanpa peran serta dari perawat. Oleh karenanya, dalam satu ruangan IGD pastilah perbandingan jumlah dokter dan perawat akan sangat menyolok. Dokter bertugas memeriksa pasien dan memberikan terapi sementara perawat berpusat pada hal terkait dunia “perawatan” pasien. Dalam hal ini tentu saja peranan perawat lebih besar dibandingkan peranan dokter di awal. Jika pasien sudah tertangani kondisi kegawatdaruratannya namun tidak mendapatkan perawatan yang maksimal setelahnya maka jangan harap akan bertahan lama. Itulah peran besar perawat yang sering kali tidak terlihat, dimana para perawat menghabiskan waktu lebih lama bersama pasien untuk sekadar mendengarkan kisah pasien.
Namun, bukan hal mudah melakukan kolaborasi dalam berbagi tugas antara dokter dengan perawat karena sejak di bangku kuliah belum ada universitas di Indonesia yang menggabungkan dunia pendidikan keperawatan dengan kedokteran. Saya sendiri pun merasakan adanya jurang pemisah tersebut semenjak mahasiswa. Saya masih beruntung dapat berinteraksi dengan para sejawat perawat dengan menjadi asisten dosen dan berbagi ilmu dengan para perawat. Tentu saja itu belum cukup karena perlu mata kuliah khusus yang menggabungkan berbagai macam tenaga kesehatan untuk saling menghargai sejak dari bangku kuliah.

Tidak Mudah Menjadi Perawat

Jika selama ini anda menganggap perawat hanya tenaga kesehatan kelas dua yang dengan mudah lulus, maka saya katakan bahwa anda salah besar. Menjadi perawat bukan hal mudah. Proses pembelajaran di bangku kuliah terkadang nyaris sama lamanya dengan dokter. Pendidikan untuk perawat pertama kali dimulai di Indonesia dengan adanya SPK (Sekolah Petugas Kesehatan), setingkat SMA namun dengan penjurusan kesehatan. Namun saat ini jalur keperawatan melalui SPK sudah dihapus oleh Kemenkes dan pendidikan keperawatan dimulai dari jenjang D3 dengan gelar AMD,Kep hingga jenjang ners dengan gelar Ns.  Itu artinya butuh minimal 3 tahun untuk menjadi perawat D3 dan jika mengambil jenjang sarjana dengan profesi sekaligus maka totalnya 4 tahun. Sama dengan dokter yang dapat melanjutkan sekolah spesialisasi, para perawat pun dapat melanjutkan pendidikan ke spesialis keperawatan di bidang bedah, maternal, anak, jiwa, dan juga komunitas. Bahkan jenjang melanjutkan kuliah di luar negeri pun banyak tersebar untuk para perawat. Hal tersebut diharapkan dapat memacu para perawat untuk terus meng-update terus ilmu yang dimiliki melalui jurnal dan berbagai media lainnya. 


Tugas saat di bangku kuliah keperawatan pun tidak mudah karena hampir sebagian besar laporan perawatan pasien harus ditulis dengan tulisan tangan untuk menghindari plagiasi alias copy paste. Belum lagi tugas di bangku profesi yang berinteraksi langsung dengan pasien. Dimulai dari hal sederhana merapikan tempat tidur pasien, memandikan pasien, memastikan pasien makan dengan baik dan benar, hingga membersihkan kotoran pasien. Tidak jarang karena lebih banyak berinteraksi dengan pasien, maka perawat menjadi garda terdepan dalam menerima kemarahan serta segala uneg-uneg pasien. Tentunya bukan hal mudah melewati 4 tahun dan bekerja dengan tetap harus selalu tersenyum dan ramah. Memang bukan hal mudah menjadi perawat.


Perawat Masa Lampau

Jika anda pernah mengenal Florence Nightingale, beliaulah ibu keperawatan modern yang mengubah citra  perawat dari pekerjaan yang hina menjadi profesi yang terdidik dan dihargai. Wanita kelahiran 12 Mei 1820 ini tidak pernah menikah dan memutuskan membaktikan dirinya di dunia keperawatan hingga meninggal di usia 90 tahun. Nightingale dikenal sebagai The Lady with The Lamp karena Ia selalu membawa lentera ke bekas medan pertempuran untuk menolong para prajurit. Nightingale mempunyai cita-cita untuk memajukan dunia keperawatan karena pengobatan dan perawatan tak dapat dipisahkan. Keduanya laksana dua sisi koin yang saling terkait. Oleh karenanya mengadopsi Sumpah Hipokrates yang digunakan para dokter, ada pula Sumpah Nightingale untuk para perawat yang digunakan pertama kali di tahun 1893, tiga tahun setelah Nightingale meninggal dunia. Hingga kini, 12 Mei selalu dikenang sebagai Hari Perawat Sedunia atas jasa mulia Nightingale.

I solemnly pledge myself before God and in the presence of this assembly, to pass my life in purity and to practice my profession faithfully. I will abstain from whatever is deleterious and mischievous, and will not take or knowingly administer any harmful drug. I will do all in my power to maintain and elevate the standard of my profession, and will hold in confidence all personal matters committed to my keeping and all family affairs coming to my knowledge in the practice of my calling. With loyalty will I endeavor to aid the physician in his work, and devote myself to the welfare of those committed to my care.”

Perawat Masa Depan

Dengan jumlah Akademi Keperawatan (Akper) yang lebih dari 1.000 dan sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu, jumlah total perawat di Indonesia kini mencapai 225.000 orang. Tentu saja Perawat masa depan diharapkan yang mengetahui peran, tanggung jawab, dan wewenangnya supaya tidak menyalahi aturan namun tetap bisa memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat, baik yang sehat maupun yang sakit.

Perawat profesional juga harus bekerja sama dan berjalan sinergi antar kelompok, baik dari pendidik, peneliti, pengelola, maupun pelayan. Setiap kelompok saling menghargai supaya tidak lagi saling menyalahkan. Semuanya dapat memajukan dunia keperawatan di ranah masing-masing. Begitu juga hubungan dengan profesi lain dalam tim kesehatan. Setiap profesi mempunyai peran, tanggungjawab dan wewenang masing-masing. Alangkah baiknya jika kita setiap profesi berintegrasi agar tercapai kepuasan pasien dan juga kepuasan tim tenaga kesehatan. Tindakan terintegrasi dapat tercipta jika setiap profesi saling memahami dan menghargai peran dan tanggungjawab perawat . Selain itu, tak akan ada lagi rasa bersaing antar tenaga kesehatan karena setiap profesi mempunyai lahan praktik masing-masing. Dokter mengobati penyakit, perawat mengatasi respons terhadap penyakit, dan profesi lain juga mempunyai identitas khas profesinya.

Mungkin anda pernah mendengar kasus tuntutan hukum terhadap perawat di daerah terpencil yang memberikan pengobatan karena tidak adanya dokter di tempat tersebut. Atau mungkin anda pernah mendengar perawat senior yang terkenal dengan sebutan “Mantri” dengan mudah membuka praktek berpalang sementara dokter harus melalui rangkaian panjang mendapatkan surat izin praktek untuk sebuah pemasangan palang. Tentu saja kita tidak ingin perawat disalahkan karena perbedaan wewenang tidak diimbangi oleh kecukupan tenaga kesehatan lainnya. Kita juga tidak ingin oknum perawat melakukan yang bukan kompetensinya jika ada yang lebih berkompetensi supaya tidak tumpang tindih dan terjadi gesekan.  Oleh karenanya, penting untuk membuat aturan supaya perawat nyaman dalam melakukan tugasnya dan tidak terbayangi oleh ketakutan atas tuntutan hukum yang harusnya tidak perlu terjadi.

Hingga saat ini draft RUU Keperawatan sudah ditandatangani oleh Susilo Bambang Yudhoyono melalui komisi IX DPR. Kami berharap dengan adanya  Undang-Undang Keperawatan, tugas dan wewenang perawat makin jelas, konsil keperawatan tercipta, serta ada payung hukum bagi perawat yang ada di daerah sulit akses akan pelayanan kesehatan.  Tentu saja supaya harmonisasi perawat dengan dokter serta tenaga kesehatan lain makin baik.

Selamat memahami masing-masing profesi dan tidak menutup diri untuk selalu belajar ilmu terbaru.
Selamat Hari Perawat Sedunia
Jaya Terus Perawat Indonesia.

Salam Indonesia Sehat

Tulisan ini merupakan kolaborasi antara perawat dan dokter Pencerah Nusantara Tosari
by Naela Mustika Khikmah, Ns dan dr. Hafiidhaturrahmah

Sumber: Kompasiana

Sabtu, 06 Juli 2013

Jangan Remehkan Masalah Penderita Kejiwaan

RadarOnline, Depok. Prof. Dr. Budi Anna Keliat S.Kp., M.AppSc, mengungkapkan, bahwa dari hasil penelitian tahun 2007 mencatat, 0,46 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Ternyata masih ada ditemukan pasien dengan penyakit fisik yang mengalami ansietas dan depresi. Seperti di Jakarta menduduki posisi pertama dengan angka 2 persen untuk penderita gangguan jiwa berat. Dan kedua adalah Jawa Barat yang mencapai 22 persen dengan gangguan jiwa ringan.

"Banyak faktor penyebabnya, seprti, masalah biologis, sosial, dan psikologis. Dengan adanya perawat kejiwaan di satu puskesmas dapat mengurangi jumlah penderita gangguan jiwa. Jadi sumbangangan keperawatan jiwa pada pasien sakit fisik yang dirawat di rumah sakit umum ternyata perlu lebih diperbaiki,” ungkapnya kepada wartawan kemarin, seusai pengukuhan Guru Besar Tetap bidang Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FKM UI) Depok.
Dia menerangkan, penderita gangguan jiwa sesungguhnya dapat disembuhkan melalui cara penanganan dan pencegahan gejala awalnya. Mulai dari tingkat stres hingga gangguan jiwa akut. Maka perawatan kesehatan sangat perlu dilakukan.

" Artinya, perawatan itu dilakukan dari dalam kandungan. Ibu hamil perlu dididik bagaimana cara memperlakukan janin hingga melahirkan anak yang sehat. Ini pencegahan yang perlu dilakukan," terang Anna.

Menurutnya, jumlah penderita gangguan jiwa se-Indonesia mencapai 1 juta orang. Namun, ruang perawatan yang tersedia hanya 90 ribu tempat.

"Masih ada masyarakat yang tidak terlayani. Mereka ini yang tersebar di masyarakat, biasanya di kampung-kampung. Bahkan ada diantara mereka yang dipasung. Ini melanggar HAM," tutur Anna.

Anna bangga, dengan kontribusi keperawatan jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit umum telah memberi dampak perbaikan kondisi kesehatan pasien dan keluarganya. Makanya, kegiatan itu perlu terus dilakukan agar perawat terasa bermakna bagi pasien. Keperawatan jiwa di rumah sakit umum untuk pasien dengan masalah fisik karena depresi dapat berdampak pada kualitas hidup.

"Sayangnya kesehatan jiwa belum menjadi program pemerintah," ucapnya.

Dijelaskan Anna, saah satu alasan masuknya keperawatan kesehatan jiwa pada arus utama pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum karena meningkatnya masalah kesehatan jiwa pada pasien dengan sakit fisik. Pasien memerlukan perawatan pada respon pasien secara emosi, spiritual, perilaku dan kognitif terhadap masalah fisik yang dialaminya. Psychiatric and mental liasison nurse adalah perawat yang memberikan konsultasi kesehatan jiwa pada pasien sakit fisik.

“Dengan melakukan asesmen dan tindakan baik kepada pasien maupun kepada keluarga. Perawat memberikan asuhan keperawatan secara holisitik. Artinya, bukan hanya kepada diagnosis fisik saja, tetapi juga diagnosis psikososial pada masalah kesehatan jiwa pasien,” jelas dia.

Budi Anna mengingatkan, bahwa asuhan keperawatan difokuskan pada masalah biologis, pikiran, emosi, psikologis, spiritual, sosial dan lingkungan pasien. Gejala sosial yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan gangguan jiwa yang diderita.

“Kendati hanya gangguan jiwa ringan namun dapat memicu pada gangguan jiwa berat. Sangat erat kaitannya. Jadi jangan remehkan masalah ini," imbuhnya.(Maulana Said)
 
Sumber: Radar Online

Pelayanan Kesehatan Jiwa Perlu Komprehensif

DEPOK, KOMPAS.com - Keperawatan kesehatan jiwa memberi kontribusi kepada pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia secara khusus di tiga tatanan pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit jiwa, rumah sakit umum dan masyarakat. Diperlukan pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif yaitu promotif, preventif yang mencakup seluruh masyarakat, dengan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat menuju Indonesia sehat jiwa.

Untuk itu diharapkan melalui keperawatan kesehatan jiwa masyarakat (Community Mental Health Nursing/CMHN) yang bekerjasama secara terpadu dengan tim kesehatan lain khususnya dokter puskesmas dapat memberikan pelayanan yang komprehensif, holistik, kontinum, dan paripurna yang ditujukan pada semua masyarakat yang sehat jiwa.

Demikian pemaparan Budi Anna Keliat saat menyampaikan pidato berjudul Kontribusi Keperawatan Kesehatan Jiwa dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Jiwa di Indonesia. Pidato tersebut disampikan Budi berkaitan dengan pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Tetap bidang Keperawatan Jiwa dari Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Universitas Indonesia pada upacara pengukuhan yang dipimpin oleh Pjs.Rektor UI Prof.Djoko Santoso di Balai Sidang UI kampus Depok pada Rabu (27/3/2013).

Budi memaparkan, beragam kegiatan telah dilakukan FIK UI dalam CMHN, salah satunya di wilayah bencana seperti gempa Padang, Aceh dan Bantul. Di daerah ini, FIK UI terlibat aktif sejak tahap emergensi (tanggap darurat) sampai tahap rehabilitasi kesehatan jiwa korban. Keberhasilan CMHN tersebut direplikasi di 17 provinsi dengan melatih 8-9 orang dari tiap provinsi di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lainnya.

Menurut Budi, melalui kontribusi keperawatan kesehatan jiwa diharapkan pelayanan kesehatan jiwa terealisasi di seluruh nusantara dalam mewujudkan yang sehat jiwa tetap sehat jiwa, yang risiko gangguan jiwa tidak gangguan jiwa, yang gangguan jiwa menjadi mandiri dan produktif serta bebas pasung dan akhirnya terwujud Indonesia Sehat Jiwa.

Sumber: Kompas

Evaluasi Kesehatan Selama Bulan Puasa dengan 7 Pertanyaan Ini

Bebarapa hari lagi seluruh umat muslim didunia akan menunaikan bulan suci ramadhan. Banyak diantara kita yang tidak bisa menjaga kesehatan tubuh kita selama berpuasa, oleh karena itu kami ingin meposting sebuah artikel yang saya ambil dari situs Detik Health. Semoga dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Puasa merupakan kesempatan untuk hidup lebih sehat. Umumnya jika tidak berpuasa seseorang akan makan 3 kali sehari yang ditambah camilan kalori tinggi. Tapi saat puasa terjadi pengaturan makan, mengurangi cemilan dan bagi perokok konsumsinya juga berkurang.

Untuk itu saat ini waktu yang tepat untuk mengevaluasi bagaimana puasa yang dijalankan di Ramadan kali ini memberikan manfaat menyehatkan melalui 7 pertanyaan berikut, yaitu:

1. Apakah kita sempat membatalkan puasa karena sakit?
2. Apakah kita merasakan gangguan kesehatan selama puasa walaupun tidak sampai membatalkan puasa?
3. Seberapa besar berat badan kita dapat turun?
4. Kalau kebetulan kita seorang perokok, berapa banyak konsumsi rokok yang dikurangi?
5. Selama berpuasa ini apakah kinerja kita menurun?
6. Bagaimana olahraga yang sebelumnya rutin dikerjakan bisa tetap dilaksanakan?
7. Kalau kebetulan mempunyai penyakit kronis sebelumnya, apakah penyakit kronis tersebut hilang?

Evaluasi ini penting dilakukan agar upaya-upaya latihan untuk hidup lebih sehat dapat terus dilaksanakan setelah puasa selesai. Apalagi cobaan berat akan segera menantang yaitu suasana Lebaran dengan hidangan-hidangan yang menggoda.

Puasa membuat saya yang sudah berusia 46 tahun, berkeluarga dengan 3 anak memiliki hidup lebih sehat dan tetap produktif. Selama puasa ini turut mengurangi camilan terutama saat mengikuti rapat, tidak melakukan budaya 'balas dendam', tetap konsumsi buah dan sayur serta minum yang cukup.

Saya tetap melakukan sahur yang sebagian besar dilakukan di rumah, sedang mengenai buka puasa seringnya dilakukan di tempat kerja dalam bentuk nasi kotak. Tidak ada tambahan suplemen khusus selama puasa, hanya saya usahakan konsumsi madu 1-2 sendok makan setiap hari dan 3-5 butir kurma terutama saat berbuka mau tidur dan sahur.

Tidur diusahakan tetap mempertahankan sebanyak 6 jam sehari, walau rata-rata hanya bisa tidur 5,5 jam sehari. Selama puasa Ramadan ini pada hari kerja saya tidur hanya 5 jam tapi saat akhir pekan bisa tidur sampai 7 jam sehari.

Olahraga memang berkurang selama puasa, tetapi tetap melakukan pembakaran kalori pada tubuh melalui gerakan-gerakan shalat terutama shalat sunat dan taraweh yang dilakukan tiap malam. Emosi juga diupayakan dikendalikan selama berpuasa.

Alhamdulilah dengan melakukan hal ini selama bulan Ramadan tidak sekalipun mengalami gangguan pencernaan baik diare maupun nyeri di perut, tidak mengalami gejala flu, batuk mapun pilek, tekanan darah tetap terkontrol dan tidak pernah batal puasa.

Saya pun bisa menurunkan berat badan sebesar 4 persen selama berpuasa Ramadan, fungsi hati SGOT dan SGPT normal, gula darah normal, kadar kolesterol total normal. Hasil ini jelas lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan darah sebelumnya yang dilakukan saat tidak puasa Ramadan.

Akhirnya bisa saya ungkapkan puasa Ramadan telah membuat badan lebih sehat tanpa gangguan kesehatan yang berarti baik secara fisik maupun laboratorium. Saya juga menghimbau agar semua mempertahankan budaya sehat yang telah diraih selama puasa, dan bagi perokok sudah terbukti selama Ramadan Anda telah berhasil mengurangi jumlah rokok bahkan sampai berhenti.

Hidup sehat ini harus tetap dipertahankan hingga nanti selesai berpuasa Ramadan seperti:
1. Tetap mengurangi asupan kalori
2. Tetap mengonsumsi buah dan sayur-sayuran
3. Minum cukup sebanyak 8-10 gelas perhari
4. Konsumsi madu 1-2 sendok makan sehari (madu zat gizi penting karena berisi karbohidrat, asam amino, mineral, vitamin serta enzim)
5. Tidur cukup minimal 6 jam sehari
6. Tetap berolah raga atau melakukan aktifitas rutin untuk membakar kalori dalam tubuh.

Tentu dengan modal ini tetap bisa melakukan aktivitas setiap harinya tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Tips ini mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk kita semua terutama untuk mereka yang mempunyai aktifitas tinggi sehari-hari.

Penulis
DR Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP
Ketua Bidang Advokasi PB PAPDI (Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia).

Sumber: Detik Health

Kamis, 04 Juli 2013

Perawatan Sederhana untuk Pilek

Virus penyebab flu/pilek ada di mana-mana dan mudah sekali menular. Itulah mengapa bila anda berdekatan dengan orang lain yang menderita flu, sangat mungkin anda terserang flu juga, terlebih jika daya tahan tubuh anda sedang menurun. Flu akibat virus biasanya diawali dengan keluhan sakit atau gatal di daerah tenggorokan. Juga kerap disertai naiknya suhu tubuh dan keluarnya lendir berwarna jernih dari hidung yang lama-kelamaan akan mengental/pekat dan berbau khas.
Penanganannya:
  • Umumnya pilek memang tidak perlu  minum obat.
  • Makanlah makanan bergizi dan perbanyak buah, terutama buah yang mengandung banyak vitamin C seperti jeruk, jambu biji, dan mangga. Asupan ini akan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga tubuh mampu menyembuhkan diri sendiri.
  • Kalau lendir hidung terus keluar, itu pertanda sistem kekebalan sedang bekerja. Tentu butuh waktu untuk bisa sembuh.
  • Istirahat lebih banyak, karena tubuh yang lelah akan sulit bertahan dari serangan penyakit.
  • minum air putih hangat. Untuk bayi tetap berikan ASI supaya daya tahan tubuhnya tetap baik.
  • Aroma minyak kayu putih atau balsam juga dapat melonggarkan jalan pernapasan. Balurkan di dada dan leher.
  • Inhalasi sederhana. Caranya, isi baskom dengan air panas dan beberapa tetes minyak angin/ kayu putih. gunakan plastik seukuran kertas A4. lalu gulung plastik tsb. menyerupai pipa paralon. tutup baskom dengan handuk. taruh gulungan plastik di antara handuk dan tepi baskom. lalu dekatkan hidung dengan lubang atas gulungan plastik, pastikan ada uap masuk ke hidung. inhalasi ini berguna untuk memudahkan kita bernapas akibat sumbatan “mampet” pada hidung.
  • jika disertai demam lebih dari 38oC, minum obat penurun panas yang mengandung parasetamol.
Jika pilek menyerang, makan makanan bergizi, cukup vitamin c, cukup istirahat, banyak minum air putih, dan terakhir cukup olahraga  agar badan tetap bugar.

Penulis:
Ns. Nurul Widiyastuti S.Kep

Sumber: Perawat Online

Selasa, 02 Juli 2013

Dari Gunung Lawu, Ngajar di Den Haag


INDONESIANNURSINGTRAINERS.com | Enik Tri Meidiati | Den Haag – Inspirasi untuk menjadi perawat sudah ada sejak masa SMP. Lebih tepatnya karena pingin bisa pergi ke Jakarta dan masuk asrama seperti kakak, yang saat itu sedang sekolah di SPK RSCM.
Dengan ijazah SMP, hijrahlah tahun 1988 ke ibu kota dan mendaftarkan diri di SPK Persahabatan di Jakarta Timur.

Singkat cerita, belum sempat mengagumi hebatnya Jakarta, sudah langsung masuk asput, asrama putri. Tiga tahun selama di asrama jadi punya pengalaman hidup yang sampai sekarang masih terasa istimewa.
Saat itulah mulai mengenal segala macam kebudayaan, kebiasaan dan makanan dari berbagai macam pulau, yang sebelumnya cuma pernah baca di buku atau lihat dari televisi. Bahkan juga pertama kali ketemu dengan penduduk luar jawa.

Tiga tahun serasa cepat sekali berlalu banyak kenangan indah dan tentunya juga ada yang kurang menyenangkan, karena biar bagaiamanapun ada masa prihatin waktu di asput. Pendidikan SPK dan tinggal di asput selain sebagai masa penggemblengan untuk menjadi zuster juga untuk belajar bertanggungjawab, disiplin, tahan banting, memperluas wawasan, memperkaya pola pikir dan menemukan jati diri.
Di sinilah mulai tumbuh rasa bangga dalam diri saya dengan profesi perawat!

Sedikit cuplikan teks lagu “Terima kasihku kuucapkan pada guruku yang tulus….sebagai tanda terima kasihku kepada bapak dan ibu guru SPK Persahabatan yang telah membekali aku ilmu yang sangat berguna sampai saat ini. Semoga semua ini akan menambah amal beliau. Tahun 1991, ijazah Perawat ada ditangan! Kalau bisa memilih, sebenarnya dalam usia 18 tahun akan lebih happy untuk bisa melanjutkan sekolah daripada langsung kerja. Anggaplah ini cita-cita berikut yang sementara masih tertunda.

Saatnya untuk tantangan baru, petualangan untuk dapat kerja. Mungkin lebih tepatnya bukan tantangan, tetapi tuntutan untuk mendapatkan kerja gaji tinggi. Hidup di Jakarta jauh lebih mahal dari pada dikampung. Mulailah saya mengirim lamaran ke beberapa rumah sakit dan dalam waktu yang singkat datanglah berita gembira. Masih ingat betul hari pertama kerja, dengan penuh semangat dan rasa bangga mulai kerja di Jakarta Eye Centre.

Ternyata, langkah kaki berubah arah. Setelah sebulan kerja, dapat kabar gembira kedua. Saya lulus test untuk program sekolah dan bekerja di negri Belanda dan resmi menjadi kandidat Indonesian Nurse Training Project (INTP). Program atas dasar kesepakatan, antara pemerintah Indonesia dan Belanda dalam Memorandum of Understanding (MOU).

Kursus bahasa Belanda di Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda di Kedutaan Belanda berlangsung sangat intensif dan menguras tenaga. Hal ini membuat saya memilih untuk berhenti kerja. Siang malam harus belajar untuk bisa mengikuti tempo dan hasil kursus sesuai persyaratan. Seandainya saja segampang waktu peralihan dari…..boso jowo ke bahasa Indonesia ….minggu-minggu pertama bahkan sering sakit tenggorokan, bukan karena kena radang, tapi karena efek belajar huruf /g/ yang harus diucapkan seperti /gh/ yang kedengarannya seperti sedang mengeluarkan sputum. Rahangpun juga terasa aneh. Lidah kadang-kadang serasa kesleo karena efek belajar bicara yang sampai harus monyong-monyong dan mencat mencut.

Pendek kata, Nederlands leren is niet gemakkelijk, belajar bahasa Belanda ternyata tidak mudah. Salah satu pesan dari dosen orang Belanda masih teringat sampai sekarang; Kan niet bestaat niet, dengan istilah ini beliau menegaskan bahwa Tidak ada istilah tidak bisa. Doa dan usaha membawa hasil yang membahagiakan, terutama untuk orang tua tercinta di kampung. Datanglah ayah almarhum dan ibu ke Jakarta untuk memberi doa restu dan wejangan semoga perjalanan dan segala urusan di Belanda berjalan dengan lancar.

Masih ingat sekali perasaan……. saat perjalanan menuju bandara Soekarno – Hatta. Seiring dengan rasa sedih karena akan meninggalkan orang tua, kakak, adik dan keluarga, juga tersirat rasa bersyukur dan bangga. Terbukti….pesan orang tua beberapa tahun yang lalu saat meninggalkan desa menuju Jakarta; di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Pesan ini, juga familiar sekali dalam istilah Belanda; Waar een wil is, is een weg. Bersyukur, karena jalan dari Alloh yang mempunyai rencana untuk setiap umatNYA dan jalan dari orang tua yang memberi kepercayaan untuk meninggalkan kampung, di lereng gunung Lawu menuju ke benua lain.

Semangat yang besar, dukungan moral dan material dari kakak yang saat itu sedang berjuang untuk menyelesaikan pendidikan AKPER, aku bawa sebagai bekal istimewa. Dengan doa dan niat berangkatlah bersama romongan 13 teman sejawat dengan Garuda menuju Belanda. Musim semi, In de lente 13 april 1992, pagi hari, tibalah kami di airport Schiphol di Amsterdam. Kami disambut oleh delegasi dari instansi Belanda dan perwakilan dari Persatuan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI). Perjalanan dilanjutkan menuju kota Delft, salah satu kota tertua dan bersejarah di mana kami akan tinggal, sekolah dan bekerja. Kami tinggal di asrama perawat alias zuster flat rumah sakit Reinier de Graaf. Disinilah awal bersosialisasi dengan orang Belanda.

Waktu lulus kursus bahasa Belanda intensif selama kurang lebih 7 bulan, serasa sudah bisa cas cis cus bicara dalam bahasa Belanda. Begitu juga merasa OK untuk mengikuti percakapan dalam bahasa Belanda.
Ternyata, percakapan dengan dosen dan cassette! yang selalu sabar dan setia untuk diulang berapa kalipun, tidak cukup untuk diandalkan untuk bisa cas cis cus dan langsung ngeh dalam percakapan dengan orang belanda totok, asli dan murni. Rasanya dua telinga tidak selalu cukup untuk bisa mendengar dan mengerti apa yang mereka bicarakan. Kesimpulannya….. belajar bahasa harus tetap dilanjutkan dan butuh keberanian (tebal muka) supaya bisa lancar cas cis cus seperti orang Belanda.

Dengan lulusan SPK, kami mendapatkan dispensasi untuk mengikuti pendidikan perawat di Belanda selama 2,5 tahun yang semestinya ditempuh selama 4 tahun. Pendidikan ini berlangsung di Prinses Margriet School dan praktek kerja di rumah sakit Reinier de Graaf. Sedikit cerita tentang Prinses Margriet School dan Rumah Sakit Reinier de Graaf. Nama sekolah diambil dari nama putri ketiga Ratu Juliana, yaitu Prinses Margriet. Sementara nama Reiner de Graaf merupakan kenangan terhadap seorang dokter dan ahli anatomi fisiologi asal Belanda yang menemukan “ folikel de graaf’’.

Sistim pendidikan, sebenarnya hampir sama di Indonesia dengan kurikulum teori dan praktek. Hanya saja dalam pelaksanaannya bisa melalui jalur belajar penuh atau dengan kombinasi kontrak kerja (gaji) dan kontrak pendidikan (biaya dan waktu sekolah). Kami dari dari INTP mendapatkan kesempatan untuk mengikuti jalur belajar dan bekerja. Jalur ini lebih menekankan praktik dibanding teori dan rata-rata seminggu sekali atau dua kali ke sekolah selebihnya bekerja. Selama pendidikan ditempat kerja mendapat bimbingan dari dosen dan pembimbing dari rumah sakit yang selain membimbing juga menguji tugas praktek.
Setiap kira-kira enam bulan dilakukan rotasi ke berbagai ruangan perawatan dan ditahun ajaran terakhir bisa memilih ruangan/spesialisasi sebagai tugas akhir. Keuntungan dari jalur ini, selain dari segi finansial juga bisa lebih banyak untuk mentransfer teori ke praktik dan praktik ke teori, sehingga memperkaya pengetahuan dan pengalaman kerja. Risikonya, selain terbatasnya waktu untuk belajar juga tanggung jawab yang besar sebagai tenaga kerja.

Lain lagi dengan jalur belajar penuh, setiap hari sekolah dan biaya sekolah sebagian ditanggung oleh pemerintah. Keuntungan dari jalur ini atara lain cukup waktu untuk belajar dan juga kebebasan untuk memilih kerja setelah lulus karena tidak terikat oleh suatu instansi. Dari segi finansial tentunya kurang menarik dan juga terbatasnya pengalaman kerja karena hanya dengan sistim magang.

Kalau dari segi ilmu dan pengalaman klinis lulusan SPK sudah kompetent. Yang menjadi kendala, pada tahun pertama, adalah menerjemahkan ilmu yang sudah ada di kepala, ke dalam bahasa Belanda baik secara lisan maupun tulisan. Sebagai contoh, menyusun Diagnosa Keperawatan menurut PES (Problem, Etiologi, Signs en Symptoms) dan RUMBA (Relevant, Understandable, Measurable, Behavioral, Attainable). Atau misalnya, menulis laporan atau menjelaskan langkah-langkah perasat keperawatan. Begitu juga dengan istilah istilah khas di rumah sakit. Waktu di SPK sering mamakai istilah seperti verbeden, di Belanda justru istilah ini sudah tidak dipakai lagi karena sudah tergolong bahasa yang kuno, sekarang istilahnya bed opmaken . Kalau dipikir pikir sebenarnya wajar, karena bahasa Belanda yang tertinggal di Indonesia kebanyakan bahasa peninggalan jaman penjajahan.

Sistim didaktis di Belanda lebih terkenal dengan istilah belajar berbasis kompetensi. Dalam praktiknya, murid diberi kesempatan untuk mencoba berbagai macam cara untuk belajar. Untuk kondisi saya, hal ini sangat membantu kemajuan kemampuan berbahasa Belanda dan memupuk rasa percaya diri berbahasa Belanda.
Ringkasnya……cerita banyak sekali tambahan ilmu dan pengalaman selama pendidikan. Salah satu contoh ilmu yang kudu dan harus dikuasai adalah hukum-hukum tentang pelayanan kesehatan. Hukum yang menetapkan hak dan kewajiban pasien dan tenaga medis, paramedis dan keperawatan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, memperkuat posisi pasien serta melindungi profesi tenaga kesehatan.

Pasien berhak mendapatkan informasi dan privacy, tentang dokumentasi medis, menolak/menunda pelayanan kesehatan, dan mendapatkan perwakilan hukum dalam mengambil keputusan apabila pasien tidak mampu melakukannya sendiri. Setiap perawat berhak mendapat perlindungan hukum dan mendapat pengakuan/wewenang sebagai tenaga profesional melalui registrasi hukum. Saat ini di Belanda sedang memulai peraturan perpanjangan registrasi untuk jangka waktu lima tahun, melalui berbagai macam uji kompetensi.

In de winter, musim dingin desember 1994, setelah menerima diploma keperawatan umum Diploma A-Verpleekunde, berubah status sebagai pekerja penuh di rumah sakit Reinier de Graaf, sampai program INTP berakhir di tahun 1996. Atas kerjasama Dep Kes dan RS POLRI di Jakarta kami mengikuti proses persamaan ijazah AKPER.

Dua ijazah dalam dua bahasa yang berbeda, akan menjadi bekal tambahan untuk melanjutkan karir perawat di Tanah Air. Walaupun, terus terang masih ada keinginan untuk tetap bekerja di Belanda dan ternyata tawaran untuk memperpanjang kontrak di rumah sakit yang sama juga ada. Bukannya serakah, tetapi anggaplah sebagai tambahan ilmu, pengalaman dan penghasilan, di samping bekerja di rumah sakit juga bekerja extra sebagai free-lance di home care.

Sesudah beberapa tahun mengombinasi kerja dengan shift pagi sore dan malam, mulailah mencoba memberanikan diri untuk melebarkan sayap dan bekerja di bidang pendidikan. Karir pertama di tahun 1999 sebagai asisten dosen menjadi inspirasi dan motivasi untuk belajar lebih banyak tentang dunia pendidikan keperawatan di Belanda. Waar een wil is, is een weg, selama ada kemauan InsyaAlloh ada jalan, dengan rasa bersyukur kusambut tawaran untuk melanjutkan kuliah……. Dosen Keperawatan di Hogeschool van Utrecht………

Sampai detik ini, saya sangat menikmati bekerja sebagai dosen……. di sekolah perawat di kota Den Haag. Terus terang saya HAPPY & ENJOY NURSE!. Jadi teringat cita-cita waktu kecil untuk jadi pembina pramuka, kalau sekarang jadi gurunya orang Belanda, dalam mimpipun tidak pernah; apalagi bercita-cita.
Pendek kata, di luar kuasa Yang Maha Kuasa, ini karena aku seorang PERAWAT!!

Walaupun di Belanda pada dasarnya sangat multikultural, tetaplah dalam konteks belajar mengajar kadang-kadang butuh waktu untuk beradaptasi dengan dosen bernama dan berpenampilan ‘asing’. Selancar apapun saya berbahasa Belanda, terus terang tetap ada aksen/logat indonesia bahkan Jawa! Bukan berarti ini hal yang negatif, justru sebaliknya, menjadi motivasi untuk selalu waspada dalam berinteraksi dengan murid. Kadang-kadang murid tidak bisa mengucap nama saya selayaknya. Saya lebih dikenal dengan Indonesische mevrouw , buat saya bukan masalah anggaplah saya jadi perwakilan perawat Indonesia…… di Belanda. Inilah salah satu motivasi dan tantangan untuk selalu menunjukkan prestasi yang terbaik. Hampir tiga belas tahun di depan kelas waktu yang cukup lama untuk bisa mempraktikkan sederetan ilmu didaktis dan pedagogis yang pernah saya dapatkan waktu kuliah.

Dosen, pengajar, sebenarnya tidak sulit, dengan bekal ilmu, pengalaman dan persiapan pada umumnya proses belajar mengajar berjalan dengan lancar. Yang menjadi tantangan adalah sebagai pendidik.
Mendidik anak remaja yang sedang dalam pertumbuhuan baik secara hormonal maupun secara psyco-sociaal, membutuhkan banyak kesabaran dan sikap yang tegas, jelas dan konsekwen untuk mempertahankan lingkungan dan suasana pendidikan yang inspiratif. Lain hal dengan pengalaman mengajar di kelas jalur belajar dan bekerja, mereka rata-rata berusia dewasa sampai sekitar 50 tahun. Selain tuntutan pribadi untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu, mereka juga berurusan dengan instansi yang menanggung biaya pendidikan. Dengan kata lain, belajar dengan tempo tinggi dalam waktu yang terbatas. Motivasi belajar mereka pada umumnya tinggi dan sebagai dosen ditantang selain menjadi pengajar juga sebagai mentor yang kompeten untuk memaksimalkan efektivitas belajar.
Masa mendatang…

Ambisi dan motivatie untuk maju dan berkembang dalam dunia pendidikan dan keperawatan selalu ada, yang pasti sambil berusaha menggapai mimpi dan cita-cita, ingin tetap menikmati profesi dan yang lebih penting menjadi pendamping suami dan dua putra tercinta.
Salam sejawat dan semangat.

Lieve groeten uit Nederland.

Enik Tri Meidiati

Profesor Perawat Pertama di Indonesia


Elly Nurachmah, 56 tahun, tampaknya layak masuk Museum Rekor Indonesia. Dia adalah seorang perawat, seperti ribuan orang berprofesi serupa di negeri ini. Tapi dia bukan sembarang perawat. Elly-lah perawat pertama di negeri ini yang bergelar profesor. Dialah perawat pertama yang dinobatkan sebagai guru besar. Setelah beliau ada juga perawat lain yang mendapatkan gelar profesor, diantaranya Achir Yani S. Hamid dan Agung Waluyo.

Sosok Elly memang luar biasa. Ketika teman-teman seangkatannya sibuk mencari uang selepas lulus dari Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan, Elly memilih sibuk mengambil program sarjana keperawatan. Ketika Universitas Indonesia baru membuka program sarjana untuk program studi ilmu keperawatan, Elly bersama lima orang lainnya terpilih menjadi pengajar yang dikirim ke The University of Sydney untuk mengambil program master keperawatan.

“Dunia keperawatan Indonesia sangat tertinggal,” kata peraih gelar doktor keperawatan dari Catholic University of America, Washington, Amerika Serikat, itu. Ia bermimpi, perawat di Indonesia bisa sepintar perawat dari Negeri Abang Sam. Hampir di semua negara bagian di AS, jumlah perawat yang bergelar sarjana mencapai 55 persen dari total perawat yang ada. Bahkan, di Negara Bagian South Dakota, semua perawatnya sudah sarjana atau lulus ujian yang setara dengan sarjana.

Proporsi itu amat berbeda dengan di Indonesia. Menurut lulusan Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan pada 1971 itu, perawat yang bergelar sarjana di negeri ini cuma sekitar 3.000 orang. Sedangkan pendidikan sekitar 250 ribu perawat lainnya sangat pas-pasan—mulai yang cuma bermodal pendidikan tiga bulan hingga yang diploma tiga tahun.

Elly kini berupaya mengatasi ketertinggalan itu. Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia ini bersama koleganya sedang membuat standar lembaga pendidikan agar kualitas program studi ilmu keperawatan lebih terjaga. “Saat ini memang banyak universitas yang membuka program studi keperawatan, tapi kualitasnya tidak terkendali,” kata guru besar yang masih menyempatkan diri merawat pasien dan membimbing para perawat yang mengambil program S-2 itu.

Sumber: Blogperawat.com

Rufaidah Al-Asalmiya, Perawat Pada Masa Nabi

Rufaidah Al-Asalmiya atau Siti Rufaidah adalah perawat muslim pertama didunia, ia sudah ada jauh sebelum Pioneer of Modern Nurse lahir kedunia. Semoga sekelumit kisah ini bisa menambah pengetahuan kita tentang orang-orang yang berjasa dalam bidang keperawatan. Di Indonesia, nama Rufaidah sendiri masih terasa asing dibandingkan dengan tokoh-tokoh keperawatan dunia yang berasal dari golongan barat. Namun dikalangan Negara arab dan timur tengah, nama Florence Nightingale tidak lebih terkenal dari Rufaidah Binti Sa’ad /  Rufaidah Al-Asalmiya.
Rufaidah Al-Asalmiya memiliki nama lengkap Rufaidah Binti Sa’ad Al-Bani Aslam Al-Khazraj. Ia lahir di Yatrhrib, Madinah pada tahun 570 M dan wafat pada tahun 632 M. Rufaidah hidup pada masa Rasulullah SAW pada  abad pertama Hijriah atau abad ke-8 Masehi. Ia termasuk golongan kaum Anshor (Golongan pertama yang menganut agama Islam di Madinah).
Ayah Rufaidah adalah seorang dokter, Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya. Saat kota madinah berkembang, ia mengabdikan diri merawat kaum muslimin yang sakit. Saat tidak terjadi peperangan, Rufaidah membangun tenda diluar Masjid Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Pada saat perang Badar, Uhud, Khandaq, dan perang Khaibar Rufaidah menjadi sukarelawan dan merawat korban yang terluka akibat perang. Ia mendirikan rumah sakit lapangan, sehingga Rasulullah SAW memerintahkan korban yang terluka dirawat oleh Rufaidah.
Rufaidah Al-Asalmiya melatih beberapa kelompok wanita untuk menjadi perawat, dan dalam perang Khaibar mereka meminta izin kepada  Rasulullah SAW untuk ikut di garis belakang pertempuran untuk merawat para mujahid yang terluka. Tugas ini digambarkan mulia oleh Rufaidah, dan merupakan pengakuan awal untuk pekerjaannya dibidang keperawatan dan medis.
Selain berkontribusi dalam merawat mereka yang terluka saat peperangan, Rufaidah Al-Asalmiya juga terlibat dalam aktifitas sosial dikomunitasnya. Dia memberi perhatian kepada setiap muslim, orang miskin, anak yatim, atau penderita cacat mental. Dia merawat anak yatim dan memberi bekal pendidikan. Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang luhur dan empati sehingga memberikan pelayanan keperawatan kepada pasiennya dengan baik dan teliti. Ia digambarkan sebagai pemimpin dan pencetus sekolah keperawatan pertama didunia islam meskipun lokasinya tidak dapat dilaporkan. Ia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit atau yang lebih dikenal dengan Preventive Care serta menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan (Health Education).
Rufaidah adalah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain. Ia digambarkan memiliki pengalaman klinik yang dapat diajarkan kepada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam hal klinikal saja, ia juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Sehingga Rufaidah sering juga disebut sebagai Public Health Nurse dan Social Worker yang menjadi inspirasi bagi perawat di dunia islam.
Sejarah islam memcatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah Al-Asalmiya seperti: Ummu Ammara, Aminah, Ummu Ayman, Safiat, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Sedangkan beberapa wanita musim yang terkenal sebagai perawat saat masa Rasulullah SAW saat perang dan damai adalah: Rufaidah binti Sa’ad Al-Aslamiyyat, Aminah binti Qays Al-Ghifariyat, Ummu Atiyah Al-Anasaiyat, Nusaibat binti Ka’ab Al Amziniyat, Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata).
Sebagai tambahan pengetahuan, perkembangan keperawatan didunia islam atau lebih tepatnya lagi di negara Arab Saudi dapat digambarkan sebagai berikut:
1.  Masa penyebaran islam /The Islamic Periode ( 570 – 632 M). pada masa ini keperawatan sejalan dengan peperangan yang terjadi pada kaum muslimin (Jihad). Rufaidah Al-Asalmiya adalah perawat yang pertama kali muncul pada mas ini.
2.   Masa setelah Nabi / Post Prophetic Era (632 – 1000 M). pada masa ini lebih didominasi oleh kedokteran dan mulai muncul tokoh-tokoh kedokteran islam seperti Ibnu Sinna, Abu Bakar Ibnu Zakariya Ar-Razi (dr. Ar-Razi).
3.  Masa pertengahan/ Late to Middle Age (1000 – 1500 M). pada masa ini negara-negara arab membangun rumah sakit dengan baik, pada masa ini juga telah dikenalkan konsep pemisahan antara ruang rawat laki-laki dan ruang rawat perenpuan. Juga telah dikenalkan konsep pasien laki-laki dirawat oleh perawat laki-laki dan pasien perempuan dirawat oleh perempuan.
Masa modern (1500 – sekarang). Pada masa ini perawat-perawat asing dari dunia barat mulai berkembang dan mulai masuk kenegara arab. Namun, pada masa ini salah seorang perawat bidan muslimah pada tahun 1960 yang bernama Lutfiyyah Al-Khateeb yang merupakan perawat bidan arab Saudi pertama yang mendapatkan Diploma Keperawatan di Kairo,  ia mendirikan institusi keperawatan di Arab Saudi.