Selasa, 02 Juli 2013

Dari Gunung Lawu, Ngajar di Den Haag


INDONESIANNURSINGTRAINERS.com | Enik Tri Meidiati | Den Haag – Inspirasi untuk menjadi perawat sudah ada sejak masa SMP. Lebih tepatnya karena pingin bisa pergi ke Jakarta dan masuk asrama seperti kakak, yang saat itu sedang sekolah di SPK RSCM.
Dengan ijazah SMP, hijrahlah tahun 1988 ke ibu kota dan mendaftarkan diri di SPK Persahabatan di Jakarta Timur.

Singkat cerita, belum sempat mengagumi hebatnya Jakarta, sudah langsung masuk asput, asrama putri. Tiga tahun selama di asrama jadi punya pengalaman hidup yang sampai sekarang masih terasa istimewa.
Saat itulah mulai mengenal segala macam kebudayaan, kebiasaan dan makanan dari berbagai macam pulau, yang sebelumnya cuma pernah baca di buku atau lihat dari televisi. Bahkan juga pertama kali ketemu dengan penduduk luar jawa.

Tiga tahun serasa cepat sekali berlalu banyak kenangan indah dan tentunya juga ada yang kurang menyenangkan, karena biar bagaiamanapun ada masa prihatin waktu di asput. Pendidikan SPK dan tinggal di asput selain sebagai masa penggemblengan untuk menjadi zuster juga untuk belajar bertanggungjawab, disiplin, tahan banting, memperluas wawasan, memperkaya pola pikir dan menemukan jati diri.
Di sinilah mulai tumbuh rasa bangga dalam diri saya dengan profesi perawat!

Sedikit cuplikan teks lagu “Terima kasihku kuucapkan pada guruku yang tulus….sebagai tanda terima kasihku kepada bapak dan ibu guru SPK Persahabatan yang telah membekali aku ilmu yang sangat berguna sampai saat ini. Semoga semua ini akan menambah amal beliau. Tahun 1991, ijazah Perawat ada ditangan! Kalau bisa memilih, sebenarnya dalam usia 18 tahun akan lebih happy untuk bisa melanjutkan sekolah daripada langsung kerja. Anggaplah ini cita-cita berikut yang sementara masih tertunda.

Saatnya untuk tantangan baru, petualangan untuk dapat kerja. Mungkin lebih tepatnya bukan tantangan, tetapi tuntutan untuk mendapatkan kerja gaji tinggi. Hidup di Jakarta jauh lebih mahal dari pada dikampung. Mulailah saya mengirim lamaran ke beberapa rumah sakit dan dalam waktu yang singkat datanglah berita gembira. Masih ingat betul hari pertama kerja, dengan penuh semangat dan rasa bangga mulai kerja di Jakarta Eye Centre.

Ternyata, langkah kaki berubah arah. Setelah sebulan kerja, dapat kabar gembira kedua. Saya lulus test untuk program sekolah dan bekerja di negri Belanda dan resmi menjadi kandidat Indonesian Nurse Training Project (INTP). Program atas dasar kesepakatan, antara pemerintah Indonesia dan Belanda dalam Memorandum of Understanding (MOU).

Kursus bahasa Belanda di Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda di Kedutaan Belanda berlangsung sangat intensif dan menguras tenaga. Hal ini membuat saya memilih untuk berhenti kerja. Siang malam harus belajar untuk bisa mengikuti tempo dan hasil kursus sesuai persyaratan. Seandainya saja segampang waktu peralihan dari…..boso jowo ke bahasa Indonesia ….minggu-minggu pertama bahkan sering sakit tenggorokan, bukan karena kena radang, tapi karena efek belajar huruf /g/ yang harus diucapkan seperti /gh/ yang kedengarannya seperti sedang mengeluarkan sputum. Rahangpun juga terasa aneh. Lidah kadang-kadang serasa kesleo karena efek belajar bicara yang sampai harus monyong-monyong dan mencat mencut.

Pendek kata, Nederlands leren is niet gemakkelijk, belajar bahasa Belanda ternyata tidak mudah. Salah satu pesan dari dosen orang Belanda masih teringat sampai sekarang; Kan niet bestaat niet, dengan istilah ini beliau menegaskan bahwa Tidak ada istilah tidak bisa. Doa dan usaha membawa hasil yang membahagiakan, terutama untuk orang tua tercinta di kampung. Datanglah ayah almarhum dan ibu ke Jakarta untuk memberi doa restu dan wejangan semoga perjalanan dan segala urusan di Belanda berjalan dengan lancar.

Masih ingat sekali perasaan……. saat perjalanan menuju bandara Soekarno – Hatta. Seiring dengan rasa sedih karena akan meninggalkan orang tua, kakak, adik dan keluarga, juga tersirat rasa bersyukur dan bangga. Terbukti….pesan orang tua beberapa tahun yang lalu saat meninggalkan desa menuju Jakarta; di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Pesan ini, juga familiar sekali dalam istilah Belanda; Waar een wil is, is een weg. Bersyukur, karena jalan dari Alloh yang mempunyai rencana untuk setiap umatNYA dan jalan dari orang tua yang memberi kepercayaan untuk meninggalkan kampung, di lereng gunung Lawu menuju ke benua lain.

Semangat yang besar, dukungan moral dan material dari kakak yang saat itu sedang berjuang untuk menyelesaikan pendidikan AKPER, aku bawa sebagai bekal istimewa. Dengan doa dan niat berangkatlah bersama romongan 13 teman sejawat dengan Garuda menuju Belanda. Musim semi, In de lente 13 april 1992, pagi hari, tibalah kami di airport Schiphol di Amsterdam. Kami disambut oleh delegasi dari instansi Belanda dan perwakilan dari Persatuan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI). Perjalanan dilanjutkan menuju kota Delft, salah satu kota tertua dan bersejarah di mana kami akan tinggal, sekolah dan bekerja. Kami tinggal di asrama perawat alias zuster flat rumah sakit Reinier de Graaf. Disinilah awal bersosialisasi dengan orang Belanda.

Waktu lulus kursus bahasa Belanda intensif selama kurang lebih 7 bulan, serasa sudah bisa cas cis cus bicara dalam bahasa Belanda. Begitu juga merasa OK untuk mengikuti percakapan dalam bahasa Belanda.
Ternyata, percakapan dengan dosen dan cassette! yang selalu sabar dan setia untuk diulang berapa kalipun, tidak cukup untuk diandalkan untuk bisa cas cis cus dan langsung ngeh dalam percakapan dengan orang belanda totok, asli dan murni. Rasanya dua telinga tidak selalu cukup untuk bisa mendengar dan mengerti apa yang mereka bicarakan. Kesimpulannya….. belajar bahasa harus tetap dilanjutkan dan butuh keberanian (tebal muka) supaya bisa lancar cas cis cus seperti orang Belanda.

Dengan lulusan SPK, kami mendapatkan dispensasi untuk mengikuti pendidikan perawat di Belanda selama 2,5 tahun yang semestinya ditempuh selama 4 tahun. Pendidikan ini berlangsung di Prinses Margriet School dan praktek kerja di rumah sakit Reinier de Graaf. Sedikit cerita tentang Prinses Margriet School dan Rumah Sakit Reinier de Graaf. Nama sekolah diambil dari nama putri ketiga Ratu Juliana, yaitu Prinses Margriet. Sementara nama Reiner de Graaf merupakan kenangan terhadap seorang dokter dan ahli anatomi fisiologi asal Belanda yang menemukan “ folikel de graaf’’.

Sistim pendidikan, sebenarnya hampir sama di Indonesia dengan kurikulum teori dan praktek. Hanya saja dalam pelaksanaannya bisa melalui jalur belajar penuh atau dengan kombinasi kontrak kerja (gaji) dan kontrak pendidikan (biaya dan waktu sekolah). Kami dari dari INTP mendapatkan kesempatan untuk mengikuti jalur belajar dan bekerja. Jalur ini lebih menekankan praktik dibanding teori dan rata-rata seminggu sekali atau dua kali ke sekolah selebihnya bekerja. Selama pendidikan ditempat kerja mendapat bimbingan dari dosen dan pembimbing dari rumah sakit yang selain membimbing juga menguji tugas praktek.
Setiap kira-kira enam bulan dilakukan rotasi ke berbagai ruangan perawatan dan ditahun ajaran terakhir bisa memilih ruangan/spesialisasi sebagai tugas akhir. Keuntungan dari jalur ini, selain dari segi finansial juga bisa lebih banyak untuk mentransfer teori ke praktik dan praktik ke teori, sehingga memperkaya pengetahuan dan pengalaman kerja. Risikonya, selain terbatasnya waktu untuk belajar juga tanggung jawab yang besar sebagai tenaga kerja.

Lain lagi dengan jalur belajar penuh, setiap hari sekolah dan biaya sekolah sebagian ditanggung oleh pemerintah. Keuntungan dari jalur ini atara lain cukup waktu untuk belajar dan juga kebebasan untuk memilih kerja setelah lulus karena tidak terikat oleh suatu instansi. Dari segi finansial tentunya kurang menarik dan juga terbatasnya pengalaman kerja karena hanya dengan sistim magang.

Kalau dari segi ilmu dan pengalaman klinis lulusan SPK sudah kompetent. Yang menjadi kendala, pada tahun pertama, adalah menerjemahkan ilmu yang sudah ada di kepala, ke dalam bahasa Belanda baik secara lisan maupun tulisan. Sebagai contoh, menyusun Diagnosa Keperawatan menurut PES (Problem, Etiologi, Signs en Symptoms) dan RUMBA (Relevant, Understandable, Measurable, Behavioral, Attainable). Atau misalnya, menulis laporan atau menjelaskan langkah-langkah perasat keperawatan. Begitu juga dengan istilah istilah khas di rumah sakit. Waktu di SPK sering mamakai istilah seperti verbeden, di Belanda justru istilah ini sudah tidak dipakai lagi karena sudah tergolong bahasa yang kuno, sekarang istilahnya bed opmaken . Kalau dipikir pikir sebenarnya wajar, karena bahasa Belanda yang tertinggal di Indonesia kebanyakan bahasa peninggalan jaman penjajahan.

Sistim didaktis di Belanda lebih terkenal dengan istilah belajar berbasis kompetensi. Dalam praktiknya, murid diberi kesempatan untuk mencoba berbagai macam cara untuk belajar. Untuk kondisi saya, hal ini sangat membantu kemajuan kemampuan berbahasa Belanda dan memupuk rasa percaya diri berbahasa Belanda.
Ringkasnya……cerita banyak sekali tambahan ilmu dan pengalaman selama pendidikan. Salah satu contoh ilmu yang kudu dan harus dikuasai adalah hukum-hukum tentang pelayanan kesehatan. Hukum yang menetapkan hak dan kewajiban pasien dan tenaga medis, paramedis dan keperawatan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, memperkuat posisi pasien serta melindungi profesi tenaga kesehatan.

Pasien berhak mendapatkan informasi dan privacy, tentang dokumentasi medis, menolak/menunda pelayanan kesehatan, dan mendapatkan perwakilan hukum dalam mengambil keputusan apabila pasien tidak mampu melakukannya sendiri. Setiap perawat berhak mendapat perlindungan hukum dan mendapat pengakuan/wewenang sebagai tenaga profesional melalui registrasi hukum. Saat ini di Belanda sedang memulai peraturan perpanjangan registrasi untuk jangka waktu lima tahun, melalui berbagai macam uji kompetensi.

In de winter, musim dingin desember 1994, setelah menerima diploma keperawatan umum Diploma A-Verpleekunde, berubah status sebagai pekerja penuh di rumah sakit Reinier de Graaf, sampai program INTP berakhir di tahun 1996. Atas kerjasama Dep Kes dan RS POLRI di Jakarta kami mengikuti proses persamaan ijazah AKPER.

Dua ijazah dalam dua bahasa yang berbeda, akan menjadi bekal tambahan untuk melanjutkan karir perawat di Tanah Air. Walaupun, terus terang masih ada keinginan untuk tetap bekerja di Belanda dan ternyata tawaran untuk memperpanjang kontrak di rumah sakit yang sama juga ada. Bukannya serakah, tetapi anggaplah sebagai tambahan ilmu, pengalaman dan penghasilan, di samping bekerja di rumah sakit juga bekerja extra sebagai free-lance di home care.

Sesudah beberapa tahun mengombinasi kerja dengan shift pagi sore dan malam, mulailah mencoba memberanikan diri untuk melebarkan sayap dan bekerja di bidang pendidikan. Karir pertama di tahun 1999 sebagai asisten dosen menjadi inspirasi dan motivasi untuk belajar lebih banyak tentang dunia pendidikan keperawatan di Belanda. Waar een wil is, is een weg, selama ada kemauan InsyaAlloh ada jalan, dengan rasa bersyukur kusambut tawaran untuk melanjutkan kuliah……. Dosen Keperawatan di Hogeschool van Utrecht………

Sampai detik ini, saya sangat menikmati bekerja sebagai dosen……. di sekolah perawat di kota Den Haag. Terus terang saya HAPPY & ENJOY NURSE!. Jadi teringat cita-cita waktu kecil untuk jadi pembina pramuka, kalau sekarang jadi gurunya orang Belanda, dalam mimpipun tidak pernah; apalagi bercita-cita.
Pendek kata, di luar kuasa Yang Maha Kuasa, ini karena aku seorang PERAWAT!!

Walaupun di Belanda pada dasarnya sangat multikultural, tetaplah dalam konteks belajar mengajar kadang-kadang butuh waktu untuk beradaptasi dengan dosen bernama dan berpenampilan ‘asing’. Selancar apapun saya berbahasa Belanda, terus terang tetap ada aksen/logat indonesia bahkan Jawa! Bukan berarti ini hal yang negatif, justru sebaliknya, menjadi motivasi untuk selalu waspada dalam berinteraksi dengan murid. Kadang-kadang murid tidak bisa mengucap nama saya selayaknya. Saya lebih dikenal dengan Indonesische mevrouw , buat saya bukan masalah anggaplah saya jadi perwakilan perawat Indonesia…… di Belanda. Inilah salah satu motivasi dan tantangan untuk selalu menunjukkan prestasi yang terbaik. Hampir tiga belas tahun di depan kelas waktu yang cukup lama untuk bisa mempraktikkan sederetan ilmu didaktis dan pedagogis yang pernah saya dapatkan waktu kuliah.

Dosen, pengajar, sebenarnya tidak sulit, dengan bekal ilmu, pengalaman dan persiapan pada umumnya proses belajar mengajar berjalan dengan lancar. Yang menjadi tantangan adalah sebagai pendidik.
Mendidik anak remaja yang sedang dalam pertumbuhuan baik secara hormonal maupun secara psyco-sociaal, membutuhkan banyak kesabaran dan sikap yang tegas, jelas dan konsekwen untuk mempertahankan lingkungan dan suasana pendidikan yang inspiratif. Lain hal dengan pengalaman mengajar di kelas jalur belajar dan bekerja, mereka rata-rata berusia dewasa sampai sekitar 50 tahun. Selain tuntutan pribadi untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu, mereka juga berurusan dengan instansi yang menanggung biaya pendidikan. Dengan kata lain, belajar dengan tempo tinggi dalam waktu yang terbatas. Motivasi belajar mereka pada umumnya tinggi dan sebagai dosen ditantang selain menjadi pengajar juga sebagai mentor yang kompeten untuk memaksimalkan efektivitas belajar.
Masa mendatang…

Ambisi dan motivatie untuk maju dan berkembang dalam dunia pendidikan dan keperawatan selalu ada, yang pasti sambil berusaha menggapai mimpi dan cita-cita, ingin tetap menikmati profesi dan yang lebih penting menjadi pendamping suami dan dua putra tercinta.
Salam sejawat dan semangat.

Lieve groeten uit Nederland.

Enik Tri Meidiati

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sungguh luar biasa , mijn zus Enik. sy bangga atas kancah belajar dan berjuang, cita cita yang luhur, senantiasa mendapat petunjuk dan kemudahan dari Alloh swt. Aamiin Yra. Dimana ada kemauan , disitu ada jalan, dan ini janji Alloh. Selamat melanjutkan cita cita yang luhur, dan bangga sbg profesi dan senantiasa berbagi.