Jumat, 28 Juni 2013

Kapan Akurnya?

by Adinda Dinar|indonesiannursingtrainers.com
Jadi teringat 15 tahun yang lalu saat pertama kali memasuki bangku kuliah jenjang diploma keperawatan. Disaat itu pula ada perasaan senang dan takut untuk jadi seorang perawat. Sebagian orang awam bilang bahwa perawat itu pembantu dokter, tapi seiring dengan berjalannya waktu istilah itu diganti sebagai perawat adalah mitra dokter. Mitra yang bagaimana??

Senang rasanya waktu kuliah dulu bisa diajarkan dengan seorang dokter karena sosoknya yang pintar, penampilannya yang rapi dengan jas snelli putihnya dan senyumnya yang ramah. Sampai akhirnya saya dan teman-teman berfikir “dokternya baik ya jadi pengen cepat praktik ke ruang rawat deh”. Maklum saat itu saya dan teman – teman masih duduk di tingkat 1.

Waktu berlalu sampai tiba saatnya kami masuk ke ruang rawat di sebuah RS, pertama kali masuk ada rasa takut, deg degan dan senang juga karena sudah memakai baju seragam perawat putih. Dari mulai orientasi ruangan sampai dengan perkenalan ke pasien kami lakukan. Dengan senyum ramah, perkenalan diri dan asal institusi kami belajar juga disampaikan ke pasien dengan bangganya.

Setelah itu setiap kali praktik, mahasiswa perawat diharuskan mengambil kasus pasien kelolaan yang harus kami buat dari awal pengkajian sampai dengan evaluasi. Dimana tugas tersebut harus kami kumpulkan ke institusi setiap akhir praktik dan sebelum masuk ke ruangan berikutnya.
Banyak kendala yang kami temukan pada saat sedang membuat tugas tersebut, diantaranya banyak sekali nama medis yang harus kami pelajari, bahkan tidak segan – segan kami membeli kamus kedokteran untuk mengetahui apa artinya. Mungkin hal ini tidak terlalu menjadi kendala yang serius bagi kami karena selain dengan kamus pun kita dapat menanyakan langsung dengan perawat senior di ruangan.

Kendala yang lain yaitu tempat untuk diskusi mahasiswa perawat yang begitu sulit kami dapati, terkadang kami menggunakan kamar ganti perawat, musola kecil diruangan tersebut, bahkan untuk menulis saja kami harus menggunakan brankar untuk alas kami menulis laporan tugas dari institusi. Kami berpikir mungkin tidak semua ruang rawat seperti ini, memang benar ada sebagian yang ada, kadang – kadang juga bergabung dengan ruangan diskusi dokter, itu juga kalau tidak dipakai untuk mahasiswa koas yang berdiskusi.

Sampai tiba saatnya kami naik ke tingkat 3 hal ini masih saja belum ada perubahan. Terkadang kami berfikir, kita mahasiswa perawat dan mahasiswa koas sama – sama sedang belajar dan mencari ilmu, tetapi kenapa mahasiswa koas lebih di prioritaskan dibandingkan dengan perawat? Mengapa mereka selalu dapat tempat dan fasilitas istimewa dibandingkan perawat padahal kita sama – sama menjadi tamu diruangan tersebut.Bukannya kami minta dihormati seperti layaknya seorang raja, tapi apa yang menjadi dasar seperti ini?

Ternyata tidak sampai disini saja, sampai akhirnya saya menjadi seorang tenaga pendidik untuk mahasiswa saya pun tidak mengalami perubahan sedikit pun. Untuk berdiskusi dengan mahasiswa saja susahnya minta ampun, sampai kami hanya berdiri di sepanjang ruangan tersebut dan terkadang juga langsung ke pasien kelolaan mahasiswa. Sampai suatu ketika saya ingin menggunakan ruang diskusi tempat dimana koas dan dokter selalu ada, dengan memberanikan diri saya dan mahasiswa masuk untuk mendiskusikan apa yang telah mereka dapatkan selama praktik.

Apa yang terjadi selama disana? Pandangan sinis profesi lain menuju ke arah kami, mulanya kami hanya cuek karena kita sama-sama tamu diruangan itu, tapi lama-lama gerah juga di awasin seperti itu. Akhirnya kami mencoba pindah ke tempat yg lebih nyaman menurut kami, yaitu ruang ganti perawat, kami hanya duduk dilantai untuk berdiskusi tanpa ada meja dan kursi disana. Tapi tetap juga tidak nyaman, karena ada beberapa perawat yang menggunakan ruang tersebut untuk ganti baju dan solat disana. Akhirnya kami pindah lagi dan menggunakan ruangan kamar pasien yang kosong, itu juga kalau ada.

Sampai selesai berdiskusi saya hanya bergumam dalam hati, ya Allah seperti inikah profesi kami, sampai diskusi aja tidak bisa menggunakan tempat yang layak, mengapa para dokter bisa seperti itu dan begitu istimewanya mereka. Kendala yang sering ditemukan juga pada saat mahasiswa kami harus mengambil target partus untuk masing -masing mahasiswa. Setiap mahasiswa harus mencoba membantu bagaimana cara menolong persalinan normal dengan dibantu oleh bidan atau dokter diruangan tersebut. Walaupun target yang kami ambil tidak sebanyak mahasiswa profesi selain perawat, setidaknya kami juga berhak mendapatkan hak sama dengan yang lain.Sebelumnya diawal kontrak program sebelum masuk ruang rawat kami dan pengelola ruangan tersebut sepakat bahwa target kompetensi yang akan kami ambil seperti itu, tapi kenyataannya pada saat pengambilan target partus tersebut mahasiswa perawat tidak pernah dipanggil dokter untuk menangani hal ini, justru yang dipanggil mahasiswa yang memang dibidangnya contoh mahasiswa kebidanan.

Sebagian mahasiswa perawat mengatakan bagaimana kami mau tercapai kompetensinya kalau selama di ruangan mahasiswa perawat selalu di anak tirikan? Sampai hal ini sudah saya sampaikan dirapat forum evaluasi ruangan tapi hanya dengan jawaban yang singkat ” Iya,padahal kami sudah sampaikan ke dokternya dan bidan ruangan tersebut”. Saya hanya tersenyum dan dalam hati berkata, “dimana mitra itu”??
Pembaca…

Bagaimana caranya mengangkat derajat seorang perawat yang hanya dianggap sebelah mata oleh profesi lain?. Apakah selama ini akan terus seperti ini? Sampai kapan kami bisa melihat perawat, dokter dan bidan duduk bersama. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui. Wallahu alam…

Jakarta, 20 Agustus 2012
adinda_dinar@yahoo.com

0 komentar: