by Adinda Dinar|indonesiannursingtrainers.com
Jadi teringat 15 tahun yang lalu saat pertama kali memasuki bangku
kuliah jenjang diploma keperawatan. Disaat itu pula ada perasaan senang
dan takut untuk jadi seorang perawat. Sebagian orang awam bilang bahwa
perawat itu pembantu dokter, tapi seiring dengan berjalannya waktu
istilah itu diganti sebagai perawat adalah mitra dokter. Mitra yang
bagaimana??
Senang rasanya waktu kuliah dulu bisa diajarkan dengan seorang dokter
karena sosoknya yang pintar, penampilannya yang rapi dengan jas snelli
putihnya dan senyumnya yang ramah. Sampai akhirnya saya dan teman-teman
berfikir “dokternya baik ya jadi pengen cepat praktik ke ruang rawat
deh”. Maklum saat itu saya dan teman – teman masih duduk di tingkat 1.
Waktu berlalu sampai tiba saatnya kami masuk ke ruang rawat di sebuah
RS, pertama kali masuk ada rasa takut, deg degan dan senang juga karena
sudah memakai baju seragam perawat putih. Dari mulai orientasi ruangan
sampai dengan perkenalan ke pasien kami lakukan. Dengan senyum ramah,
perkenalan diri dan asal institusi kami belajar juga disampaikan ke
pasien dengan bangganya.
Setelah itu setiap kali praktik, mahasiswa perawat diharuskan
mengambil kasus pasien kelolaan yang harus kami buat dari awal
pengkajian sampai dengan evaluasi. Dimana tugas tersebut harus kami
kumpulkan ke institusi setiap akhir praktik dan sebelum masuk ke ruangan
berikutnya.
Banyak kendala yang kami temukan pada saat sedang membuat tugas
tersebut, diantaranya banyak sekali nama medis yang harus kami pelajari,
bahkan tidak segan – segan kami membeli kamus kedokteran untuk
mengetahui apa artinya. Mungkin hal ini tidak terlalu menjadi kendala
yang serius bagi kami karena selain dengan kamus pun kita dapat
menanyakan langsung dengan perawat senior di ruangan.
Kendala yang lain yaitu tempat untuk diskusi mahasiswa perawat yang
begitu sulit kami dapati, terkadang kami menggunakan kamar ganti
perawat, musola kecil diruangan tersebut, bahkan untuk menulis saja kami
harus menggunakan brankar untuk alas kami menulis laporan tugas dari
institusi. Kami berpikir mungkin tidak semua ruang rawat seperti ini,
memang benar ada sebagian yang ada, kadang – kadang juga bergabung
dengan ruangan diskusi dokter, itu juga kalau tidak dipakai untuk
mahasiswa koas yang berdiskusi.
Sampai tiba saatnya kami naik ke tingkat 3 hal ini masih saja belum
ada perubahan. Terkadang kami berfikir, kita mahasiswa perawat dan
mahasiswa koas sama – sama sedang belajar dan mencari ilmu, tetapi
kenapa mahasiswa koas lebih di prioritaskan dibandingkan dengan perawat?
Mengapa mereka selalu dapat tempat dan fasilitas istimewa dibandingkan
perawat padahal kita sama – sama menjadi tamu diruangan
tersebut.Bukannya kami minta dihormati seperti layaknya seorang raja,
tapi apa yang menjadi dasar seperti ini?
Ternyata tidak sampai disini saja, sampai akhirnya saya menjadi
seorang tenaga pendidik untuk mahasiswa saya pun tidak mengalami
perubahan sedikit pun. Untuk berdiskusi dengan mahasiswa saja susahnya
minta ampun, sampai kami hanya berdiri di sepanjang ruangan tersebut dan
terkadang juga langsung ke pasien kelolaan mahasiswa. Sampai suatu
ketika saya ingin menggunakan ruang diskusi tempat dimana koas dan
dokter selalu ada, dengan memberanikan diri saya dan mahasiswa masuk
untuk mendiskusikan apa yang telah mereka dapatkan selama praktik.
Apa yang terjadi selama disana? Pandangan sinis profesi lain menuju
ke arah kami, mulanya kami hanya cuek karena kita sama-sama tamu
diruangan itu, tapi lama-lama gerah juga di awasin seperti itu. Akhirnya
kami mencoba pindah ke tempat yg lebih nyaman menurut kami, yaitu ruang
ganti perawat, kami hanya duduk dilantai untuk berdiskusi tanpa ada
meja dan kursi disana. Tapi tetap juga tidak nyaman, karena ada beberapa
perawat yang menggunakan ruang tersebut untuk ganti baju dan solat
disana. Akhirnya kami pindah lagi dan menggunakan ruangan kamar pasien
yang kosong, itu juga kalau ada.
Sampai selesai berdiskusi saya hanya bergumam dalam hati, ya Allah
seperti inikah profesi kami, sampai diskusi aja tidak bisa menggunakan
tempat yang layak, mengapa para dokter bisa seperti itu dan begitu
istimewanya mereka. Kendala yang sering ditemukan juga pada saat mahasiswa kami harus
mengambil target partus untuk masing -masing mahasiswa. Setiap mahasiswa
harus mencoba membantu bagaimana cara menolong persalinan normal dengan
dibantu oleh bidan atau dokter diruangan tersebut. Walaupun target yang
kami ambil tidak sebanyak mahasiswa profesi selain perawat, setidaknya
kami juga berhak mendapatkan hak sama dengan yang lain.Sebelumnya diawal
kontrak program sebelum masuk ruang rawat kami dan pengelola ruangan
tersebut sepakat bahwa target kompetensi yang akan kami ambil seperti
itu, tapi kenyataannya pada saat pengambilan target partus tersebut
mahasiswa perawat tidak pernah dipanggil dokter untuk menangani hal ini,
justru yang dipanggil mahasiswa yang memang dibidangnya contoh
mahasiswa kebidanan.
Sebagian mahasiswa perawat mengatakan bagaimana kami mau tercapai
kompetensinya kalau selama di ruangan mahasiswa perawat selalu di anak
tirikan? Sampai hal ini sudah saya sampaikan dirapat forum evaluasi
ruangan tapi hanya dengan jawaban yang singkat ” Iya,padahal kami sudah
sampaikan ke dokternya dan bidan ruangan tersebut”. Saya hanya tersenyum
dan dalam hati berkata, “dimana mitra itu”??
Pembaca…
Bagaimana caranya mengangkat derajat seorang perawat yang hanya
dianggap sebelah mata oleh profesi lain?. Apakah selama ini akan terus
seperti ini? Sampai kapan kami bisa melihat perawat, dokter dan bidan
duduk bersama. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui. Wallahu alam…
Jakarta, 20 Agustus 2012
adinda_dinar@yahoo.com
adinda_dinar@yahoo.com
Sumber: Indonesian Nursing Trainers
0 komentar:
Posting Komentar